PROPOSAL TESIS

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA DAN KREATIFITAS MATEMATIKA SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENEMUAN TERBIMBING MENGGUNAKAN MEDIA SOFTWARE AUTOGRAPH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik. Karena untuk menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat dituntut sumber daya manusia yang handal, yang memiliki kemampuan dan keterampilan serta kreatifitas yang tinggi. Sekarang hampir setiap orang mulai dari orang awam, pemimpin, lembaga pendidikan dan manajer perusahaan berbicara tentang pentingnya kreatifitas. Hal ini disebabkan karena kondisi dalam dunia persaingan pada masa sekarang ini dituntut bahwa setiap lulusan sekolah harus memiliki kreatifitas. Karena orang yang kreatif adalah mereka yang unggul dalam pekerjaan, yang mendirikan usaha baru, yang menemukan produk baru, yang membangun gedung dan merancang rumah tinggal, yang memproduksi film dan pementasan, menggubah musik, melukis dan menghasilkan karya indah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan sekolah kurang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan maupun perkembangan teknologi, sulit untuk dilatih kembali, kurang bisa mengembangkan diri dan kurang dalam berkarya artinya tidak memiliki kreativitas (Trianto, 2010:2).

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan. Karena selain dapat mengembangkan pemikiran kritis, kreatif, sistematis, dan logis, matematika juga telah memberikan kontribusi dalam kehidupan sehari-hari mulai dari hal yang sederhana seperti perhitungan dasar (basic calculation) sampai hal yang kompleks dan abstrak seperti penerapan analisis numerik dalam bidang teknik dan sebagainya. Namun sampai saat ini hasil belajar matematika siswa Indonesia belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini terlihat jelas dari hasil TIMMS 2007 (http://infopendidikankita.blogspot.com) yang menempatkan siswa Indonesia berada diperingkat 34 dari 50 negara peserta dalam penguasaan matematika. Demikian juga dari hasil perolehan PISA 2009 (http://www.pisa.oecd.org) yang menempatkan Indonesia dalam hal kemampuan matematika pada urutan ke-61 dari 65 negara peserta jauh dibawah Singapura yang berada diurutan ke-2 dan masih dibawah Thailand yang berada diurutan ke-50.

Rendahnya hasil belajar matematika tersebut adalah suatu hal yang wajar dimana selama ini fakta di lapangan menunjukkan proses pembelajaran yang terjadi masih berpusat pada guru, suasana kelas cenderung teacher-centered sehingga siswa menjadi pasif. Siswa lebih sering hanya diberikan rumus-rumus yang siap pakai tanpa memahami makna dari rumus-rumus tersebut (Trianto, 2010:6). Siswa sudah terbiasa menjawab pertanyaan dengan prosedur rutin, sehingga ketika diberikan masalah yang sedikit berbeda maka siswa akan kebingungan. Pembelajaran matematika selama ini kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk memahami matematika yang sedang mereka pelajari. Fokus utama dari pembelajaran matematika selama ini adalah mendapatkan jawaban. Para siswa menyandarkan sepenuhnya pada guru untuk menentukan apakah jawabannya benar. Sehingga setiap pelajaran matematika yang disampaikan di kelas lebih banyak bersifat hafalan. Memang dimungkinkan siswa memperoleh nilai yang tinggi, tetapi mereka bukanlah pemikir yang baik di kelas dan akan kesulitan dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika terutama untuk soal-soal pemecahan masalah (problem solving). Selanjutnya akan menghambat kemampuan kreativita anak.

Hal tersebut diatas juga terlihat dari jawaban siswa di SMP Negeri 4 Binjai kelas VIII-7. Ketika siswa diminta menentukan nilai x dari persamaan (x+1) (2x+6) -x(2x+5) = 24, dari 42 siswa 25 orang dapat menjawab dengan tepat dan 6 orang terjadi kesalahan dalam prosedur. Namun ketika diberikan soal dibawah ini:

Sebuah kebun berbentuk persegipanjang. Panjang kebun itu 5m lebihnya dari 2 kali lebar kebun. Pada kedua sisi kebun terdapat jalan dengan lebar 1m. Luas jalan pada pinggir kebun seluruhnya adalah 24m2. Berapakah lebar kebun tersebut



Sketsa kebun


kebun

jalan

Dari 42 siswa tidak ada seorangpun yang mampu menjawab dengan benar. Beberapa siswa memberikan jawaban sebagai berikut:

24 –(2×5) = 24 -10 = 14m dan 24 : (2×5) =24:10 =2,4m

Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut jelas terlihat karena anak tidak memahami soal tersebut, akibatnya anak tidak memiliki ide-ide yang dapat digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut dalam arti tidak memiliki kreatifitas. Padahal soal tersebut dalam penyelesaiannya menerapkan konsep operasi pada bentuk aljabar seperti soal yang pertama diberikan. Hal ini sejalan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarmo (1987) mengatakan bahwa ”Baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitif siswa, skor kemampuan pemahaman dan penalaran matematis sangat rendah. Dikarenakan kurangnya pemahaman konsep-konsep matematika. Siswa akan kesulitan memahami dan menyelesaikan soal-soal yang merupakan alat untuk melihat prestasi belajar siswa”. Ada 3 macam pemahaman matematika yakni pertama kemampuan translation, kedua kemampuan interpretasi, dan ketiga extrapolation Bloom dalam (Wikipedia, 2009). Translation adalah mampu menyatakan soal berbentuk kata-kata, gambar, grafik menjadi symbol dan sebaliknya. Interpretasi, adalah mampu menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal, mengartikan kesamaan. Kemudian extrapolation adalah mampu menerapkan konsep-konsep dalam perhitungan matematis. Selanjutnya Utami Munandar (1992) dalam (Reni Akbar dkk, 2001:4) menyatakan kreatifitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan diantaranya adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, serta kemampuan untuk mengolaborasi (mengembangkan / memperkaya / memperinci ) suatu gagasan.

Oleh sebab itu, berkaitan dengan proses pembelajaran disekolah perlu dilakukan perubahan. Setiap ide yang disampaikan di ruang kelas dapat dan harus dipahami oleh setiap siswa secara lengkap. Hal ini sesuai dengan pendapat (Van de Walle, 2007:3) yang menyatakan bahwa “para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya”. Ranty (http://matematika.upi.edu/index.php/) menambahkan bahwa “Salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika adalah karena siswa tidak memiliki pemahaman akan persoalan matematika yang diberikan”.

Van de walle (2007:14) menambahkan hal yang paling mendasar dalam matematika adalah matematika dapat dipahami dan masuk akal artinya:

1. Setiap hari siswa harus mendapatkan pengalaman bahwa matematika masuk akal.

2. Para siswa siswa harus percaya bahwa mereka mampu memahami matematika.

3. Para guru harus menghentikan cara mengajar dengan memberitahu segalanya kepada siswa dan harus mulai memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami matematika yang sedang mereka pelajari.

4. Akhirnya para guru harus percaya terhadap kemampuan siswa.

Sehubungan dengan hal itu maka proses pembelajaran matematika di kelas sudah seharusnya dilakukan perubahan. Konsep matematika harus dibangun dengan pemahaman siswa itu sendiri. Hal yang harus dilakukan guru adalah bagaimana mendorong siswa untuk berfikir, bertanya, memecahkan masalah, mengemukakan ide, mendiskusikan ide bahkan menemukan sesuatu yang baru. Sebagaimana dikemukakan Van de Walle (2007:6) yang mengatakan bahwa “guru harus mengubah pendekatan pengajarannya dari pengajaran berpusat pada guru menjadi pengajaran berpusat pada siswa”. Artinya guru perlu mengubah kelas dari sekedar kumpulan siswa menjadi komunitas matematika, menjadikan logika dan bukti matematika sebagai pembenaran dan menjauhkan otoritas guru untuk menuntaskan kebenaran. Mementingkan pemahaman daripada hanya mengingat prosedur, mementingkan membuat dugaan, penemuan dan pemecahan soal dan menjauhkan dari tekanan pada penemuan jawaban secara mekanis. Mengaitkan matematika, ide-ide dan aplikasinya dan tidak memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terasingkan.

Lebih lanjut Schonfeld (dalam Sumarmo, 2002:631) menambahkan bahwa “Matematika merupakan proses yang aktif, dinamik, generatif dan eksploratif, berarti bahwa proses matematika dalam penarikan kesimpulan merupakan kegiatan yang membutuhkan pemikiran dan pemahaman tingkat tinggi”. Artinya proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, dinamik dan eksploratiflah yang sesuai dengan pembelajaran matematika sehingga meningkatkan pemahaman matematika siswa.

Salah satu cara yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pengajar adalah harus bisa menggunakan pendekatan pembelajaran yang mampu melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Pembelajaran matematika yang kurang melibatkan siswa secara aktif akan menyebabkan siswa tidak dapat menggunakan kemampuan matematiknya secara optimal dalam menyelesaikan masalah matematika dan tidak akan memunculkan kreatifitas anak.

Seperti dikatakan Ranty (http://matematika.upi.edu/index.php/) menyatakan bahwa

Seorang guru perlu memperhatikan konsepsi awal siswa sebelum pembelajaran. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan mungkin salah. Salah satu cara adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membentuk siswa membangun sendiri pengetahuannya, sedangkan peran pendidik adalah sebagai motivator dan fasilitator.

Banyak gagasan para pakar yang mengusulkan bentuk pendidikan dan pengajaran yang mampu meningkatkan pemahaman matematika siswa dan kreativitas siswa. Namun para pakar pendidikan matematika telah sepakat bahwa para siswa harus mengkonstruksi sendiri konsep-konsep matematikanya. Salah satu teori-teori pembelajaran yang didasarkan pada cara siswa belajar aktif adalah teori pembelajaran konstruktivis.. Dalam hal ini guru dibimbing untuk menggunakan strategi pengajaran yang memperhatikan kondisi siswa dan bukannya memperhatikan diri sendiri. Senada dengan hal ini Bruner (dalam Abdul .hamid) mengatakan bahwa inti belajar yang terpenting adalah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara aktif

Robert E. Slavin (2009:10) mengatakan bahwa ”pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang mempunyai sejarah panjang dalam inovasi pendidikan”. Hal ini dikarenakan pendekatan penemuan terbimbing merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menitik beratkan kepada aktifitas siswa dalam belajar. Pendekatan penemuan terbimbing juga memungkinkan siswa (anak-anak) untuk mengetahui dengan pasti informasi yang akan diselesaikan dan ide-ide penyelesaian dalam beberapa cara yang berasal dari diri mereka sendiri, ini adalah cara paling alami bagi siswa untuk lebih mudah mengerti dan pelajaran lebih mudah diingat. Sebagaimana dikemukakan oleh Bruner (dalam Trianto, 2010:7), mengatakan bahwa “berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna”.

Para pereformasi pendidikan matematika berusaha mengubah kurikulum pendidikan dasar dan menengah dari fokus yang nyaris total pada transmisi ilmu yang sudah mapan ke problem solving (pemecahan masalah) dan inquiry (penyelidikan). Pedagogi kurikulum baru itu termasuk pengajaran berbasis-kegiatan dan hands on instruction yang siswanya diharapkan untuk menggunakan pengalaman langsung dan pengamatannya sendiri mendapatkan informasi dan menyelesaikan berbagai masalah (Richard I. Arends,2008:46). Tujuan pendidikan matematika bukan hanya untuk memperbesar dasar pengetahuan siswa, tetapi juga menciptakan berbagai kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan) artinya akan selain menumbuhkan pemahaman siswa karena membangun ide sendiri juga akan menumbuhkan kreatifitas siswa.

Lebih lanjut Bergstrom dan O’Brien (2001) dalam (Robert E. Slavin, 2009:10) mengatakan bahwa ”dalam belajar penemuan siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip bagi diri sendiri”. Amin (1988:97) menambahkan bahwa ”suatu kegiatan penemuan terbimbing ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri”. Selanjutnya Bruner (dalam Dahar, 1996:103) menambahkan ”Belajar penemuan sesuai dengan mencari pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna”. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Implementasi metode pembelajaran ini diupayakan agar meningkatkan penguasaan konsep matematika serta penciptaan iklim yang kondusif bagi siswa dalam pengembangan daya nalarnya.

Carol C. Kuhlthau dkk (2006:6) mengatakan bahwa guided inquiry (penemuan terbimbing) adalah:

Preparing for lifelong learning, integrated into content areas, transfarable information concepts, using a variety source, involvin students in every stage of the learning, from planning to the final product, curriculum connected to the students world, a community of learners working together, students and teacher collaborating, emphasis on the process and product.

Dari keterangan di atas terlihat jelas bahwa ide atau gagasan matematika yang diperoleh siswa bertahan lama karena siswa terlibat secara aktif bekerjasama dengan guru dan siswa lainnya dalam proses pembelajaran dari tahap perencanaan sampai akhirnya terbentuk ide tersebut. Bahkan dikaitkan langsung dengan kehidupan siswa. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan penemuan terbimbing lebih menekankan kepada memanipulasi objek dan lain-lain percobaan, sebelum sampai pada generalisasi yang mana siswa aktif terlibat didalamnya. Artinya siswa sendiri atau kelompok secara aktif mencari informasi baru berdasarkan informasi yang diketahui sebelumnya dengan bimbingan guru. Dalam pembelajaran ini siswa tidak lagi menjadi penerima pasif, siswa lebih aktif terlibat dalam menyelidiki, menginvestigasi, mencoba dan akhirnya menemukan sendiri konsep matematika yang dimaksud.

Berdasarkan karakteristik penemuan terbimbing yang telah dikemukakan maka tentunya akan lebih mudah bila dalam proses penemuannya, siswa dibantu dengan media pembelajaran yang mempermudah melakukan investigasi dan eksplorasi. Sebagaimana dikemukakan Fahinu (2009) bahwa ”Kemampuan menemukan sendiri didukung oleh fasilitas yang memudahkan dalam proses penemuan. Salah satu fasilitas yang mendukung pembelajaran matematika adalah laboratorium komputansi matematika”. Senada dengan hal ini Jelarwin (www.scribd.com) mengatakan bahwa:

Salah satu faktor yang ada di luar individu adalah tersedianya media pembelajaran yang memberi kemudahan bagi individu untuk mempelajari materi pembelajaran, sehingga menghasilkan belajar yang lebih baik. Selain itu juga gaya belajar atau learning style merupakan suatu karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak yang relatif stabil bagi pembelajar yang merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar.

Seperti yang dinyatakan dalam prinsip-prinsip dan Standar NCTM (The National Council of teachers of mathematics):

When technological tools are available, students can focus on decision making, reflection, reasoning, and problem solving. Student can learn more mathematics more deeply with appropriate use of technology (Dunham and Dick 1994; Sheets 1993; Boers-van Oosterum 1990; Rojano 1996; Groves 1994.

Sejumlah media atau alat teknologi yang dapat membantu dalam proses pembelajaran dikelas telah banyak diciptakan. Salah satu media yang dikenal saat ini adalah software (perangkat lunak) salah satunya adalah software Autograph. Namun hal yang paling penting untuk dikerjakan sebelum menggunakan perangkat lunak sebagai media pembelajaran, guru harus mengetahui dan mengevaluasi kegunaan dan tujuannya. Salah satu sumber terbaik untuk informasi tentang perangkat lunak adalah subbab tinjauan ulang dari jurnal NCTM atau dari http://illumnation.nctm.org) Van de Walle (2007:120). NCTM memberi perhatian terhadap pentingnya teknologi, karena teknologi merupakan sarana yang penting untuk mengajar dan belajar matematika secara efektif, teknologi memperluas matematika yang dapat diajarkan dan meningkatkan belajar siswa (Van de Walle,2007:112).

Beberapa peneliti telah menunjukkan dampak positif dari penggunaan software di sekolah. Termasuk salah satunya software Autograph dengan menggunakan software ini diharapkan dapat membantu guru dalam membelajarkan matematika. Autograph adalah software untuk matematika tingkat menengah, desainnya melibatkan tiga prinsip dalam belajar dan pembelajaran yakni fleksibilitas, berulang-ulang, menarik kesimpulan. Autograph akan membantu siswa dalam melakukan percobaan sehingga dimungkinkan menemukan hal-hal yang baru. Siswa dapat menguji lebih banyak contoh-contoh dalam waktu singkat daripada menggunakan tangan, sehingga dari eksperimennya siswa dapat menemukan, mengkonstruksi dan menyimpulkan prinsip-prinsip matematika, dan akhirnya memahami konsep matematika itu sendiri.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “meningkatkan kemampuan pemahaman matematika dan kreativitas matematika siswa smp melalui pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam pembelajaran matematika disebabkan, antara lain:

1. Hasil belajar matematika siswa rendah.

2. Pendekatan pembelajaran masih berorientasi pada pola pembelajaran yang masih berpusat pada guru.

3. Pendekatan pembelajaran matematika yang dilakukan belum meningkatkan kemampuan pemahaman matematika siswa.

4. Pendekatan pembelajaran matematika yang dilakukan belum meningkatkan kemampuan kreativitas matematika siswa.

5. Aktivitas siswa dalam belajar matematika masih rendah.

6. Kurangnya penggunaan media termasuk software dalam pembelajaran matematika

7. Rendahnya tingkat penguasaan guru terhadap komputer dan software matematika.

8. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran matematika belum sesuai dengan yang diharapkan.

C. Batasan Masalah

Mengingat adanya keterbatasan dana, waktu dan kemampuan peneliti. Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup lokasi penelitian, subyek penelitian, waktu penelitian dan variabel penelitian.

Penelitian ini hanya fokus kepada kemampuan pemahaman matematika siswa dan kreativitas matematika siswa melalui pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media Autograph pada materi persamaan garis lurus dan gradien di kelas VIII SMP N 4 Binjai, dengan meneliti permasalahan berikut :

1. Kemampuan pemahaman matematika siswa masih rendah

2. Kemampuan kreativitas matematika siswa masih rendah

3. Aktifitas siswa selama pembelajaran masih rendah.

D. Rumusan Masalah

Sebagaimana yang tersirat dalam judul dan berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang diajar dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph lebih baik dari siswa yang diajar dengan pendekatan ekspositori?
  2. Apakah peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajar dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph lebih baik dari siswa yang diajar dengan pendekatan ekspositori?
  3. Apakah ada interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa?
  4. Apakah ada interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa?
  5. Apakah ada korelasi positif antara peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa dengan peningkatan kemampuan kreatifitas matematika siswa?
  6. Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan software Autograph ?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan yang diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang diajar dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph lebih baik dari siswa yang diajar dengan pendekatan ekspositori

2. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajar dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph lebih baik dari siswa yang diajar dengan pendekatan ekspositori

3. Mengetahui apakah ada interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa?

4. Mengetahui apakah ada interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa?

5. Mengetahui apakah ada korelasi positif antara peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa dengan peningkatan kemampuan kreatifitas matematika siswa?

6. Mendeskripsikan aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan software Autograph

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

  1. Sebagai bahan pertimbangan bagi para guru untuk menerapkan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media software Autograph yang memperhatikan peningkatan kemampuan pemahaman dan kreativitas khususnya dalam bidang matematika.
  2. Sebagai alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat membuat siswa lebih aktif dalam penemuan sendiri akan konsep-konsep matematika dan mengoptimalkan pemahaman dan meningkatkan kreativitas.
  3. Bagi sekolah khususnya yang telah tersedia laboratorium berbasis ICT agar lebih memberdayakannya untuk digunakan sebagai media pembelajaran.
  4. Sebagai bahan informasi dalam mendesain bahan ajar matematika yang berorientasi matematika yang berorientasi pada aktifitas siswa.
  5. Bahan informasi lanjutan bagi peneliti lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan untuk pengembangan dalam inovasi proses belajar dan usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran.

G. Defenisi Operasional

1. Pendekatan penemuan terbimbing adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa dalam menemukan sendiri pemahaman mereka terhadap konsep-konsep matematika. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) menyampaikan tujuan dan merumuskan masalah, (2) menyusun konjektur dengan bimbingan, (3) memeriksa kepastian konjektur yang disusun, (4) menyusun konsep dari konjektur yang telah dibuat (5) memeriksa kembali hasil penemuan dengan soal latihan

2. Pendekatan ekspositori adalah pendekatan pembelajaran matematika yang yang berpusat pada guru dan siswa menerima informasi secara pasif, materi pelajaran disajikan secara rapi, sistematis dan lengkap. Perilaku atau keterampilan matematika siswa dikembangkan atas dasar latihan soal.

3. Media software Autograph yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah software Autograph versi 3. 20, buatan Douglas Butler. (Butler, 2007)

4. Pemahaman matematika adalah (1). kemampuan translation (menyatakan suatu persamaan menjadi grafik, menyatakan soal-soal berbentuk cerita menjadi symbol-simbol matematika dan sebaliknya), (2). kemampuan interpretasi (menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah, mampu mengartikan kesamaan), (3) extrapolation (menerapkan konsep dalam pemecahan masalah).

5. Kreativitas matematika adalah (1) Kelancaran (fluency) yakni kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide (2) Keluwesan atau fleksibilitas (flexibility) yakni kemampuan menghasilkan ide-ide beragam (3) Kerincian atau elaborasi (elaboration) yakni kemampuan mengembangkan, membumbui, atau mengeluarkan sebuah ide (4) Orisinalitas (originality) yakni kemampuan untuk menghasilkan ide yang tak biasa di antara kebanyakan atau jarang.

6. Tingkat kemampuan matematika siswa dibagi dalam tiga kelompok tinggi,sedang dan rendah yang dibagi berdasarkan perolehan nilai raport pada semester I dengan Kriteria sebagai berikut:

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Kerangka Teoritis

A. Hakekat Pembelajaran Matematika

Mengajarkan ilmu pengetahuan, termasuk matematika mempunyai cara-cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup hakekat pemahaman kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping itu, tidak kalah pentingnya bagaimana mengkomunikasikan ide atau gagasan yang dikandung oleh ilmu pengetahuan tersebut kepada orang lain. Karena pada dasarnya, pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain paham dan mampu menyebarkan apa yang dipahaminya (Suherman dkk, 2003:301)

Penelitian dalam pendidikan matematika telah menemukan bahwa pemahaman paling baik dikembangkan ketika para siswa diberi kesempatan untuk bergulat dengan ide-ide baru, membuat dan mempertahankan penyelesaian soal, dan berpartisipasi di dalam komunitas pelajar matematika. Teori yang paling luas diterima adalah teori yang dikenal dengan konstruktivisme, menyarankan bahwa siswa harus aktif dalam mengembangkan pemahamannya (Van De Walle, 2007:23). Hal ini juga sesuai dengan Ruseffendi (1991:260) yang mengatakan bahwa “Matematika timbul karena fikiran-fikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran”. Soedjadi (2004) yang menambahkan bahwa “Matematika merupakan kegiatan manusia sehingga dalam proses pembelajaran harus lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa”.

Teori konstruktivis berakar kuat dari psikologi kognitif dan teori-teori Piaget. Prinsip dasar konstruktivis adalah siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka. Mengkonstruksi pengetahuan tentunya merupakan suatu usaha yang sangat aktif oleh pelajar. Untuk mengkonstruksi atau memahami ide baru diperlukan pemikiran yang aktif tentang ide tersebut. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan, misalnya bagaimana ide ini sesuai dengan yang sudah diketahui?, bagaimana memahami ide ini sesuai dengan pemahaman terakhir?, bagamana jika diterapkan dalam suatu pemecahan masalah?, dan lain sebagainya.

Mengacu pada pandangan konstruktivisme dalam proses pembelajaran matematika, guru dan siswa dituntun untuk berpartisipasi aktif. Guru dituntun merancang alternatif pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif membangun pemahamannya terhadap konsep/prinsip matematika. Proses membangun pemahaman inilah lebih penting dari pada hasil belajar, sebab hasil pemahaman akan bermakna pada materi yang akan dipelajari ( Asikin, 2008 ).

Hal ini berbeda dengan pandangan behavior terhadap pembelajaran, sebagian besar pembelajaran matematika konvensional yang berpola behavior dengan berdasarkan pada transmisi, penyerapan dan pengeroyokan pengetahuan. Pandangan ini, siswa secara pasif “ menyerap “ struktur matematika yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip da keterampilan pada siswa ( Clement & Battista 2001 ).

Peran guru dalam proses pembelajaran seharusnya adalah menfasilitasi siswa untuk mengkontruksi pengetahuan yanng sesuai dengan skemata yang dimiliki siswa. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan pendalaman pengetahuan yang terdiri dari konsep-konsep dan prinsip-prinsip, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar dengan baik. Sebagaimana telah dikatakan Van de walle (2007:14) bahwa

Hal yang paling mendasar dalam matematika adalah matematika dapat dipahami dan masuk akal artinya setiap hari siswa harus mendapatkan pengalaman bahwa matematika masuk akal, para guru harus menghentikan cara mengajar dengan memberitahu segalanya kepada siswa dan harus mulai memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami matematika yang sedang mereka pelajari”

Jadi dengan demikian guru sudah seharusnya mengubah pertanyaannya terhadap siswa yang selama ini menanyakan “Apakah ia (siswa mengetahui sesuatu?” menjadi “Bagaimana ia memahami sesuatu?”. Jadi tugas guru adalah menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide mereka. Memonitori, mengevaluasi, dan menunjukan apakah pikiran siswa berjalan atau tidak. Guru harus menggunakan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan pandangan konstruktivisme didasarkan pada keyakinan bahwa para siswa belajar paling baik ketika mereka mendapatkan pengetahuan melalui eksplorasi dan pembelajaran aktif.

Paparan di atas menjelaskan bahwa hakekat pembelajaran matematika sesungguhnya mengacu kepada paham konstruktivis bagaimana membuat siswa percaya bahwa matematika masuk akal dan bahwa mereka sendiri dapat memahami konsep-konsep matematika. Dan guru dalam hal ini harus percaya pada anak-anak dan memberi kesempatan pada mereka untuk terlibat secara aktif dalam berfikir, berjuang menemukan ide-ide matematiknya.

B. Pemahaman Matematika

Salah satu aspek yang perlu dikembangkan dalam mempelajari matematika adalah pemahaman matematis. Para ahli pendidikan matematika sepakat bahwa salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika adalah memahami matematika. Belajar matematika dengan pemahaman yang mendalam dan bermakna akan membawa siswa merasakan manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana dikemukakan Herbert dan Carpenter (dalam Hasanah, 2004:24) menjelaskan sejumlah manfaat terhadap pengetahuan yang diperoleh dalam belajar matematika dengan pemahaman yakni sebagai berikut:

1. Bersifat generative, artinya pengetahuan yang terbentuk dari hasil belajar dengan pengertian sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali (distimulasi).

2. Bermakna, menyesuaikan antara materi pelajaran dengan kemampuan berfikir siswa memungkinkan kegiatan belajar lebih bermakna.

3. Memperkuat ingatan dan mengurangi jumlah informasi yang harus dihapal.

4. Memudahkan transfer belajar, terjadinya transfer dalam belajar dengan dengan pengertian atau pemahaman karena adanya persamaan-persamaan konteks antara pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuan lama yang dengan cepat dapat dimunculkan kembali.

5. Mempengaruhi kepercayaan, siswa yang belajar dengan pemahaman selalu akan memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang saling berhubungan secara sistematis dalam struktur kognitif.

Ada 3 macam pemahaman matematika yakni pertama kemampuan translation, kedua kemampuan interpretasi, dan ketiga extrapolation Bloom dalam (Wikipedia, 2009). Translation, misalnya mampu menyatakan soal berbentuk kata-kata, gambar, grafik menjadi symbol dan sebaliknya. Interpretasi, misalnya mampu menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal, mengartikan kesamaan. Kemudian extrapolation misalnya mampu menerapkan konsep-konsep dalam perhitungan matematis.

Skemp dalam (Sumarmo, 1987:24) membedakan dua jenis pemahaman konsep yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental diartikan konsep diartikan sebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus serta menerapkannya dalam perhitungan tanpa alasan-alasan dan penjelasan. Sebaliknya pada pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih bermakna.

Sebagai contoh, ketika anak diminta menentukan persamaan garis yang memiliki gradien –2 dan memotong titik (4, 10) mereka akan dapat menyelesaikannya dengan. Gunakan rumus y – y1 = m(x – x1 ). Sehingga diperoleh y – 10 = -2(x – 4) atau y =-2x + 18. Namun ketika diberikan soal berikut sebuah pesawat terbang akan mendarat di bandara. Mulai roda keluar (0 detik) hingga mendarat, pesawat tersebut membentuk garis lurus dengan kemiringan (gradien) -3. Pada saat 2 detik sesudah roda dikeluarkan, pesawat tersebut berada pada ketinggian 700 m dari atas tanah, Tulislah persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara waktu dan ketinggian pesawat. Maka siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental akan kesulitan menentukan nilai y1 dan x1 karena anak sudah terbiasa dengan simbol koordinat titik.

Selanjutnya Munir (2008:55) mengemukakan ”Pemahaman matematika akan mampu menjelaskan atau membedakan sesuatu, kemampuan itu menyangkut: (1) penerjemahan (interpreting), (2) memberikan contoh (exemplifying), (3) mengklasifikasikan (classifyng), (4) meringkas (summarizing), (5) berpendapat inferring), (6) membandingkan (comparing), (7) menjelaskan (explaining)”.

Dalam pembelajaran matematika yang efektif perlu pemahaman apa yang siswa ketahui, perlu diberikan tantangan dan dukungan terhadap mereka untuk mempelajarinya dengan baik (NCTM, 2000). Bagi siswa yang belajar matematika dengan pemahaman diharapkan akan tumbuh kemampuan siswa untuk menerapkan konsep yang telah dipahaminya dengan baik dan benar pada setiap permasalahan matematika yang muncul. Selain itu pengetahuan matematika yang mereka pelajari lebih bertahan lama dan dapat sewaktu-waktu dimunculkan kembali (generatif), bermakna, memperkuat ingatan karena mengurangi jumlah informasi yang harus dihapal, mempengaruhi kepercayaan Herbert dan Carpenter dalam (Grouws, 1992:72-75).

Polya (Sumarmo, 1987:23) mengemukakan empat tingkat pemahaman konsep yakni:

1. Pemahaman mekanikal yakni jika ia dapat mengingat dan menerapkan konsep itu secara benar

2. Pemahaman induktif yakni jika ia telah mencobakan konsep itu berlaku dalam kasus sederhana dan yakin bahwa kasus itu berlaku dalam konsep serupa

3. Pemahaman rasional yakni jika ia dapat membuktikannya.

4. Pemahaman intuitif yakni jika ia telah yakin akan kebenaran konsep tersebut tanpa ragu-ragu.

Bagi siswa yang belajar matematika dengan pemahaman diharapkan mampu mengkomunikasikan konsep yang telah dipahaminya dengan baik dan benar pada saat menghadapi setiap masalah dalam pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hasanah (2004:23) menggambarkan proses terbentuknya pemahaman dalam kegiatan belajar sebagai beriku:

1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang dilakukan. Hal-hal yang diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh guru.

2. Menggabungkan informasi yang baru dengan skema pengetahuan yang telah ada.

3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk. Mengorganisasikan tersebut berarti hubungan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang telah terbentuk ditata kembali dan akan membentuk hubungan-hubungan baru.

4. Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pemahaman matematik mengacu pada Taksonomi Bloom meliputi interpretasi, translasi dan ekstrapolasi. Translation (pengubahan), misalnya mampu menyatakan soal berbentuk kata-kata, gambar, grafik menjadi symbol dan sebaliknya. Interpretasi (pemberian arti), misalnya mampu menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal, mengartikan kesamaan. Kemudian extrapolation (meramalkan) misalnya mampu menerapkan konsep-konsep dalam perhitungan matematis, mampu memperkirakan kecenderungan yang ada menurut data/fakta tertentu atau grafik tertentu dengan mengutarakan konsekuensi dan implikasi yang sejalan dengan kondisi yang diberikan atau digambarkan.

C. Kreativitas Matematika

Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar dan Menengah (Siskandar, 2004) harus mencakup pada:

(1) Melatih cara berfikir dan bernalar siswa dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan atau eksplorasi, percobaan atau eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan , konsistensi dan inkonsistensi. (2) Mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan cara mengembangkan pemikiran secara divergen, orsinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi, menduga dan mencoba. (3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

Selanjutnya Sumarmo (2001: 3) bahwa Guru matematika hendaknya dapat mendorong berkembangnya pemahaman dan penghayatan siswa terhadap prinsip, nilai dan proses matematika sehingga tumbuh daya nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, kreatif, rasa keindahan, keterbukaan, dan rasa ingin tahu. Selanjutnya diharapkan agar guru matematika dapat mengembangkan daya matematika siswa”.

Ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut pandangan kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan. Pandangan ini mengatakan bahwa kreativitas tidak dapat dipengaruhi oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih merupakan suatu kejadian tiba-tiba daripada suatu proses panjang sampai selesai seperti yang dilakukan dalam sekolah. Jadi dalam pandangan ini ada batasan untuk menerapkan kreativitas dalam dunia pendidikan. Pandangan pertama ini telah banyak dipertanyakan dalam penelitian-penelitian terbaru, dan bukan lagi merupakan pandangan kreativitas yang dapat diterapkan kepada pendidikan. Pandangan kedua merupakan pandangan baru kreativitas yang muncul dari penelitian-penelitian terbaru — bertentangan dengan pandangan jenius. Pandangan ini menyatakan bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam, fleksibel di dalam isi dan sikap, sehingga dapat dikaitkan dengan kerja dalam periode panjang yang disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan hanya merupakan gagasan yang cepat dan luar biasa. Menurut pandangan ini kreativitas dapat ditanamkan pada kegiatan pembelajaran dan lingkungan sekitar (Silver,1997) dalam (Enden Mina, 2006:8).

Utami munandar (1992) dalam (Reni Akbar dkk, 2001:4) menyatakan kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan yaitu:

1. Kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada.

2. Kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas , ketepatgunaan dan keragaman jawaban.

3. Kemampuan yang secara operasional mencerminkan kelancaran, keluesan dan orisionalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengolaborasi ( mengembangkan / mempekaya / memperinci ) suatu gagasan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Conny R. Setiawan (1984) dalam (Reni Akbar dkk, 2001:4) komponen kreativitas meliputi:

Kelancaran (fluency) yakni kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide. Keluwesan atau fleksibilitas (flexibility) yakni kemampuan menghasilkan ide-ide beragam. Kerincian atau elaborasi (elaboration) yakni kemampuan mengembangkan, membumbui, atau mengeluarkan sebuah ide. Orisinalitas (originality) yakni kemampuan untuk menghasilkan ide yang tak biasa di antara kebanyakan atau jarang.

Selanjutnya Rogers (1962) dalam (Utami Munandar, 2009:18) mengatakan bahwa “Sumber kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengespresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme”.

Kreativitas berkaitan dengan faktor-faktor kognitif dan afektif. Kognitif memiliki ciri-ciri aptitude (kecerdasan) sedangkan afektif memiliki ciri-ciri non-aptitude. Ciri-ciri aptitude meliputi: keterampilan berpikir lancar, keterampilan berpikir luwes, keterampilan berpikir orisinal, keterampilan elaborasi/merinci dan keterampilan mengevaluasi. Ciri-ciri non aptitude dari kreativitas adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Ciri-ciri non-aptitude meliputi rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat mengambil resiko dan sifat menghargai Utami Munandar (1992) dalam (Reni Akbar dkk, 2001:5-11) Pengembangan kreativitas seseorang tidak hanya memperhatikan pengembangan kemampuan berpikir kreatif tetapi juga pemupukan sikap dan ciri-ciri kepribadian kreatif.

Menurut Carl Rogers (1987) dalam (Utami Munandar, 2009:34) mengatakan bahwa ada tiga kondisi dari pribadi yang kreatif ialah “(1) Keterbukaan terhadap pengalaman, (2) Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang, (3) Kemampuan untuk bereksperimen, bermain dengan konsep-konsep”. Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu,memiliki minat luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Mereka lebih mandiri, percaya diri dan berani mengambil resiko (Utami munandar, 2009:35).

Pandangan klasik tentang penemuan matematika dan penciptaan dalam matematika diungkapkan oleh Poincare (1952) dan Hadamard (1945) dalam Enden Mina, 2006:8). Mereka membahas pemecahan masalah kreatif matematika dalam 4 tahap yaitu:

Tahap persiapan (menjadi terbiasa dengan masalah), tahap inkubasi (membiarkan pikiran mengerjakan masalah), tahap iluminasi (ketika gagasan yang mengarah pada penyelesaian suatu masalah diperoleh), dan tahap verifikasi (memeriksa bahwa jawaban tersebut benar). Pada saat perpindahan dari tahap inkubasi kepada tahap iluminasi sering terjadi dengan cara yang tidak terduga atau cara baru dalam memandang masalah. Seperti lahirnya fungsi-fungsi Fuchcian dari Henri Poincare, matematikawan Perancis, didahului oleh masa inkubasi berhari-hari sampai inspirasi datang secara mendadak pada saat beliau berekreasi.

Kreativitas dalam memecahkan masalah matematika dikarakteristikkan dengan kemampuan siswa dalam merumuskan masalah matematika secara bebas, bersifat penemuan dan baru. Ide-ide tersebut sejalan dengan ide-ide seperti fleksibilitas, kelancaran (fluency), membuat asosiasi baru, dan menghasilkan jawaban divergen yang berkaitan dengan kreativitas secara umum. Soal-soal tersebut menghasilkan jawaban yang dapat dinilai dengan kriteria seperti fleksibilitas, orisinalitas, dan kesesuaian (appropriateness). Pengertian kelancaran (fluency), fleksibilitas, dan keaslian (baru) dalam kreativitas umum diadaptasi dan diterapkan dalam pendidikan matematika Balka (1974) dalam (Enden Mina, 2006:8).

Dalam penelitian ini komponen kreativitas yang dimaksud sesuai dengan pendapat Conny R. Setiawan (1984) dalam (Reni Akbar dkk, 2001:4) yakni meliputi: Kelancaran (fluency) yakni kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide. Keluwesan atau fleksibilitas (flexibility) yakni kemampuan menghasilkan ide-ide beragam. Kerincian atau elaborasi (elaboration) yakni kemampuan mengembangkan, membumbui, atau mengeluarkan sebuah ide. Orisinalitas (originality) yakni kemampuan untuk menghasilkan ide yang tak biasa di antara kebanyakan atau jarang.

Utami munandar (2009:58) mengatakan bahwa “Potensi kreativitas dapat diukur melalui beberapa pendekatan yakni pengukuran langsung; pengukuran tidak langsung, dengan mengukur unsur-unsur yang memadai ciri tersebut; pengukuran ciri kepribadian yang berkaitan erat dengan ciri tersebut; dan beberapa jenis pengukuran non-test”. Sejumlah tes kreativitas telah disusun dan digunakan, diantarannya tes dari Torrance untuk mengukur pemikiran kreatif (Torrance Test of Creative Thingking:TTCT). Soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif umum, diperkenalkan pertama kali oleh peneliti Amerika yaitu Guilford (1959) dan Torrance (1969) pada tahun 50-an dan tahun 60-an. Dalam soal jenis ini diberikan cerita open-ended yaitu cerita yang menghasilkan banyak jawaban benar. Soal-soal matematika yang mengizinkan siswa untuk memperlihatkan proses berpikir divergen atau kreatif telah banyak dikembangkan oleh para peneliti (Pehkonen, 1992, Singh, 1992).

D. Pendekatan Ekspositori

Pendekatan ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Hal ini disebabkan karena dalam strategi ini guru memegang peran yang sangat dominan. Guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur menuliskan contoh dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik dan siswa hanya sebagai pendengar yang baik dan mengerjakan soal sesuai dengan contoh. Fokus utama strategi ini adalah kemapuan akademik (academic achievement) siswa (Wina Sanjaya, 2007).

Secara garis besar Wina Sanjaya (2007) mengemukakan bahwa langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan ekspositori adalah sebagai berikut:

1. Persiapan (prepation)

Guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi

2. Pertautan (apersepsi) bahan terdahulu

Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang diajarkan

3. Penyajian (presentation)

Guru memberikan bahan dengan memberikan ceramah dan menyuruh siswa membaca / memperhatikan bahan yang tercantum dalam buku teks. Memberikan contoh soal dan menyelesaikannya.

4. Evaluasi

Guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari dan siswa disuruh mengerjakan soal-soal yang terdapat di dalam buku teks, setelah selesai siswa mengerjakan dalam catatannya, kemudian siswa disuruh secara acak dan bergiliran mengerjakannya di papan tulis

E. Pendekatan Penemuan Terbimbing

Teori pembelajaran yang paling luas diterima adalah teori yang dikenal dengan konstruktivisme (Van De Walle, 2007:23). Pendekatan penemuan terbimbing merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivis (Robert E. Slavin, 2009:10). Menurut paham konstruktivis, pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa mengkontruksi pengetahuan melalui proses. Proses tersebut dimulai dari pengalaman siswa itu sendiri, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki.

Kerangka teoritis Ruseffendi (1991: 329) menyatakan bahwa belajar melalui penemuan itu penting sebab:

(1) pada hakekatnya ilmu-ilmu itu diperoleh melalui penemuan. (2) matematika adalah bahasa yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan memanipulasi dan pengalaman benda-benda kongkrit. (3) generalisasi itu penting, melalui penemuan generalisasi yang diperoleh akan mantap. (4) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. (5) setiap anak adalah mahluk kreatif. (6) menemukan sesuatu oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya sendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat menumbuhkan sikap positif terhadap manusia.

Bruner (dalam Dahar, 1996:103) menambahkan ”Belajar penemuan sesuai dengan mencari pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna”. Sementara Suryosubroto (2002: 191) mengemukakan bahwa “Salah satu pendekatan mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah pendekatan penemuan”. Hal ini disebabkan karena pendekatan ini:

1. Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif.

2. Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tak mudah dilupakan anak.

3. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain.

4. Dengan menggunakan strategi penemuan anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri.

5. Dengan metode ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Amin (1988:97) mengatakan ”Bahwa suatu kegiatan penemuan terbimbing ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri”. Bicknell-Holmes & Hoffman (dalam Castronova, 2006: 2) mengambarkan tiga sifat utama pembelajaran penemuan yakni : (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk membuat, mengintegrasikan, dan menggeneralisasi pengetahuan. (2) aktifitas-aktifitas berdasar ketertarikan dimana siswa menentukan tahapan dan frekwensi, dan (3) aktifitas-aktifitas yang mendorong integrasi pengetahuan baru kedalam dasar pengetahuan siswa yang telah ada. Pembelajaran penemuan dapat difasilitasi melalui beragam strategi, atau arsitektur, didalam kelas.

Dalam pendekatan penemuan terbimbing, siswa dan guru berkolaborasi bekerja sama untuk menemukan ide-ide. Siswa bekerja sebagai komunitas belajar, saling membantu dan belajar satu sama lain. Ciri-ciri pendekatan penemuan terbimbing dapat lebih jelas dilihat dari enam prinsip penemuan terbimbing yang dijabarkan Carol C. Kuhlthau (2007:25) yakni:

1. Children learn by being actively engaged in and reflecting on an experience

2. Children learn by building on what they alredy know

3. Children develop higher order thingking through guidance at critical points in the learning proses

4. Children have different ways and modes of learning

5. Hildren learn through social interaction with others

6. Children learn through instruction and experince in accord with their cognitive development

Dari enam ciri tersebut terlihat bahwa pembelajaran dengan pendekatan penemuan memungkinkan siswa untuk mencari informasi yang memuaskan rasa ingin tahu mereka. Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi keinginan-keinginan mereka dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih melibatkan siswa secara aktif. Siswa mempunyai banyak cara belajar, siswa belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain, melalui diskusi ataupun eksplorasi.

Pendekatan penemuan terbimbing sesuai dengan cara belajar aktif dimana siswa mencari pengetahuan secara aktif dan dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar. Dari pengertian pendekatan penemuan terbimbing diatas terlihat perbedaan pendekatan penemuan terbimbing dengan pembelajaran konvensional. Sebagaimana dikemukakan Carol C. Kuhlthau (2007:6) yakni:

Tabel 2.1 What Guided Inquiry is not and is

Guided Inquiry is not

Guided Inquiry is

Preparation solely for the test

Preparation for longlive learning

An add-on subject

Integrated inti connect areas

Isolated information skill

Transferable information concepts

Relying on one textbook

Using variety of source

Finding answer to a prescribed quesrtion

Involving student in every stage of leraning, from planning to the final product

Curriculum without meaning to students

Curriculum connected to the students’ world

Individual students working exclusively on solitary task

A community of learners working together

Solely teacher directed

Students and teachers collaborating

Overemphasis on the end product

Emphasis on the process and product

Dari perbandingan diatas dapat dilihat bahwa belajar dengan pendekatan penemuan terbimbing membuat siswa untuk siap belajar seumur hidup, belajar aktif dari tahap persiapan sampai hasil, menggunakan banyak sumber, bekerja sama dan bereksplorasi. Sedangkan pada pembelajaran konvensional siswa hanya dipersiapkan untuk tes, menjawab pertanyaan, berpegangan pada satu buku teks, pembelajaran terjadi satu arah saja dan terlalu menekankan pada hasil akhir.

Dalam penemuan terbimbing ada beberapa pertanyaan yang diharapkan akan terjawab oleh siswa yakni (1) What do I know; (2) What do I want know; (3) How do I find out; (4) What did I learn; (5) How do I use what I learn; (6) What will I do next Time (Carol C Kuhlthau dkk, 2006:4).

Bagan 2.1

Pertanyaan-Pertanyaan Yang Diharapkan Muncul Sejalan Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing



What di I Know





Agar pelaksanaan pendekatan penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, perlu dirumuskan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pelaksanaannya. Markaban (http://p4tkmatematika.org/downloads//ppp/ Penemuan_terbimbing.pdf) mengemukakan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

  1. Menyampaikan tujuan dan merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusan harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa salah.
  2. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah kearah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS
  3. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil análisis yang dilakukannya.
  4. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiran siswa, sehingga akan menúju arah yang hendak dicapai
  5. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan kepada siswa untuk menyusunnya.
  6. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

Secara garis besar langkah-langkah dalam pembelajaran ini dapat diringkas menjadi beberapa tahap yakni: (1) Menyampaikan tujuan dan Merumuskan masalah, (2) menyusun konjektur dengan bimbingan, (3) memeriksa kepastian konjektur yang disusun, (4) menyusun konsep dari konjektur yang telah dibuat (5) memeriksa kembali hasil penemuan dengan soal latihan

Dalam pendekatan penemuan terbimbing pada tahap menyusun konjektur dapat melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar dan siswa, siswa dengan dengan bahan ajar dan guru. Interaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Interaksi juga dapat terjadi antara siswa dengan siswa baik dalam kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok-kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang pandai. Kondisi semacam ini selain akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan meningkatkan social skill siswa. Interaksi juga dapat terjadi antara guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa atau dengan siswa serentak dalam kelas seluruhnya. Tujuannya untuk mempengaruhi siswa berpikir masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkonstruksikan konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu untuk memecahkan masalah.

Dalam hal ini maka guru dapat menggunakan strategi intervensi yang memungkinkan siswa mengkonstruksikan pemahamannya sendiri. Strategi ini membantu siswa mencari fakta, menjelaskan dan sintesa terhadap fakta-fakta. Strategi yang dimaksud adalah (Carol C Kuhlthau, 2007:137):

Tabel 2.2 Intervention Strategies for Guided Inquiry

Collaborate

Kolaborasi

Work jointly with others

Bekerjasama dengan yang lain

Converse

Membicarakan

Talk about ideas for clarity and further questions

Membicarakan tentang kejelasan ide dan pertanyaan lebih jauh

Continiu

berkesinambungan

Develop understanding over a period of time

Mengembangkan pemahaman terus-menerus

Choose

Memilih

Select what is interesting and pertinent

Memilih apa yang penting dan cocok

Chart

Grafik

Visualize ideas using pictures, timelines and graphic organizers

Menggambarkan ide-ide menggunakan gambar, time lline dan grafik

Compose

Menyusun

Write all the way along. Not just at end; keep journals

Menuliskan semua langkah-langkah, tidak hanya hasilnya buat jurnalnya

Memperhatikan pendekatan penemuan terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan beberapa kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Beberapa kebaikan-kebaikan dalam penggunaan metode ini, sebagaimana dikemukakan oleh Suryosubroto (2002: 200) antara lain:

1. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.

2. Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.

3. Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.

4. Metode ini memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri.

5. Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus.

6. Metode ini dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses penemuan.

7. Mendukung kemampuan problem solving siswa.

8. Memberikan wahana interaksi siswa, maupun siswa dengan guru

Dalam hal ini terlihat jelas bahwa penemuan terbimbing memberikan manfaat yakni pengetahuan matematika yang diperoleh siswa bertahan lama karena siswa terlibat secara aktif bekerjasama dengan guru dan siswa lainnya dalam proses pembelajaran dari tahap perencanaan sampai akhirnya terbentuk ide tersebut. Dalam pembelajaran ini siswa tidak lagi menjadi penerima pasif, siswa lebih aktif terlibat dalam menyelidiki, menginvestigasi, mencoba dan akhirnya menemukan sendiri konsep matematika yang dimaksud.

Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut (soedjana, 1986):

1. Metode ini menyita banyak waktu, dan juga tida menjamin siswa tetap bersemangat menemukan

2. Tidak setiap guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan, selain itu tugas guru sekarang cukup sarat

3. Tidak semua anak mampu melakukan penemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuannya. Bimbingan yang terlalu banyak juga dapat mematikan inisiatifnya.

4. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan tiap topik

5. Kelas yang banyak muridnya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan dan pengarahan belajar dengan metode penemuan.

F. Media Software Autograph dalam Pembelajaran Matematika

Media sebagai alat bantu dalam proses belajaar-mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Walaupun begitu, penggunaan media sebagai alat bantu tidak bisa sembarangan menurut sekehendak hati guru. Tetapi harus memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan (Syaiful Bahri Djamarah dkk, 2006:122).

Selanjutnya Aminuddin Rasyad (2003:120) mengatakan bahwa media pendidikan membantu segala sesuatu yang dapat digunakan guru untuk mencapai tujuan (achievement), dengan tujuan:

1. Membantu memperjelas pokok bahasan yang disampaikan

2. Membantu guru memimpin diskusi

3. Membantu meringankan peranan guru

4. Membantu merangsang peserta didik berdialog dengan dirinya sendiri

5. Membantu mendorong peserta didik aktif belajar

6. Memudahkan guru mengatasi masalah ruang tempat dan waktu

7. Memberi pengalaman nyata kepada peserta didik

8. Memberikan perangsang dan pengalaman yang sama kepada seluruh peserta didik.

Geralch dan Ely (dalam Arsyad, 2003:11) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan media yang mungkin guru tidak mampu (kurang efisien) melakukannya, yaitu:

1. Ciri fiksasi (fixative property) artinya media memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada suatu waktu tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu

2. Ciri manipulatif (manipulative property) artinya media memanipulasikan kejadian atau objek dengan jalan mengedit hasil rekaman yang dapat mengenal waktu

3. Ciri distributif ( distributive property) artinya media memungkinkan objek atau kejadian ditransportasikan melalui ruang dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kajadian itu

Integrasi ICT dalam pendidikan telah melahirkan suatu paradigma baru dalam belajar. Belajar tidak lagi hanya ditentukan oleh guru semata, tetapi siswa pun memiliki akses dalam memilih cara belajarnya sendiri dalam membentuk pengetahuan yang diperlukan. Sumber belajar tidak terbatas pada teks tetapi bisa menjangkau jaringan yang sangat luas seperti internet. Dengan ICT kesempatan belajar juga semakin besar karena tidak selalu terbatas oleh ruang dan waktu. E-learning system memungkinkan pembejaran interaktif dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun selama siswa memiliki koneksi pada jaringan sistem tersebut. Paradigma ini bisa memberikan beberapa keuntungan, seperti peningkatan efisiensi, kesempatan belajar dan hasil belajar.

Demikian juga halnya dengan perkembangan media pembelajaran, dimana sekarang ini media pembelajaran berupa software yang siap pakai sudah banyak diciptakan. Namun masih banyak mitos ataupun anggapan yang mengatakan bahwa penggunaan software atapun media-media pembelajaran yang siap pakai akan membuat siswa tidak belajar. Sedangkan menurut penelitian penggunaan software membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman mereka (Van de Walle, 2006:114).

Autograph adalah software atau perangkat lunak yang sangat membantu dalam proses belajar mengajar di Sekolah Menengah Pertama, Software ini dikembangkan oleh Douglas Butter. Pemanfaatan Autograph dalam pembelajaran di kelas merupakan suatu inovasi baru dalam pembelajaran matematika, karena ditengarai bahwa pembelajaran matematika di kelas selama ini bersifat tradisional. Kegiatan pembelajaran lebih didominasi oleh guru, tetapi dengan menggunakan Autograph siswa dapat mengembangkan cara belajarnya termasuk menggunakan metode investigasi.

Alan Catley juga menyebutkan bahwa “mengajar matematika dengan software Autograph software dinamis telah menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran matematika lebih efektif, dan efisien dan diatas semuanya lebih baik dan menyenangkan untuk kedua belah pihak yaitu guru dan peserta didik”.Ada 3 hal yang ditawarkan pada software Autograph, antara lain:

1. 1 D untuk memudahkan mempelajari statistik dan probabilitas

2. 2 D untuk memudahkan mempelajari pembuatan grafik, koordinat, transformasi dan bivariat data

3. 3 D untuk memudahkan mempelajari grafik, koordinat dan transformasi

Ketiga program tersebut di atas di kelompokkan pada level standar dan level advance. Level Standar, level ini dirancang untuk usia sekitar 11-16 tahun, penampilannya sangat sederhana sehingga memudahkan user dalam mengoperasikan Autograph. Sedangkan level Advanced digunakan untuk materi lebih lanjut, seperti termasuk kalkulus, distribusi pada probabilitas dan persamaan dalam bentuk 3 D.

Ahmadi (2009:32) menjelaskan beberapa kelebihan dan keistimewaan dari Autograph yaitu:

1. Whiteboard mode : dengan mengklik tombol whiteboard mode akan memberikan kemudahan bagi pengguna untuk mendapatkan keterangan/informasi pada layar (worksheet).

2. Equestion entry : dengan mengklik equestion entry pengguna akan diminta memasukkan suatu persamaan grafik yang diinginkan, sehingga memudahkan pengguna dalam membuat grafik-grafik lainnya.

3. Interpreting data in 1 and 2 dimention : dalam 1D dan 2D data-data dari Microsoft excel dapat juga dimasukkan/dipindahkan kedalam autograph

4. Slow plot : dengan mengklik tombol slow plot maka persamaan yang dimasukkan akan membentuk grafik secara perlahan-lahan.

5. Save page (bitmap) : salah satu kelebihan autograph ini juga dapat save page bitmap, yaitu menyimpan hasil kerja pada worksheet dapat di save dalam format bitmap (bmp) kemudian bisa dibuka atau dimasukkan Microsoft word dan aplikasi komputer lainnya.

Autograph dapat digunakan untuk menggambarkan grafik statistik, fungsi dan vektor dan transformasi. Autograph juga memungkinkan untuk merubah dan menganimasikan grafik, gradient, bangun, atau vektor yang telah direncanakan untuk pemahaman materi. Program Autograph menggunakan warna dan animasi dan menyediakan fasilitas “help” sebagai bantuan bagi guru untuk menggunakan Autograph. Dengan Autograph juga akan membentuk siswa untuk belajar eksplorasi dan investigasi. Interaksi dengan fitur-fitur Autograph membuat siswa terlibat dalam pembelajaran matematika melalui eksplorasi dimana jawaban pertanyaan siswa akan ditemukan oleh siswa itu sendiri.

G. Persamaan Garis Lurus dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing Menggunakan Software Autograph

Materi persamaan garis lurus adalah salah satu materi yang diajarkan dikelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Pada pokok bahasan persamaan garis lurus diharapkan siswa dapat membuat sketsa grafik fungsi aljabar sederhana pada sistem koordinat Cartesius, menentukan gradien dari persamaan dan grafik garis lurus. Kesulitan yang paling sering dialami siswa dalam persamaan garis lurus adalah membuat sketsa grafik pada sistem koordinat cartesius dan memahami ilustrasi gradien. Autograph akan sangat membantu siswa selain dalam membuat sketsa grafik persamaan garis lurus juga dalam memahami ilustrasi akan konsep gradien dan garis lurus.

Kombinasi pendekatan penemuan terbimbing dengan menggunakan media autograph memungkinkan siswa lebih memahami konsep-konsep persamaan garis lurus dan gradien. Siswa tidak hanya akan diberikan rumus-rumus yang sifatnya hapalan saja. Misalnya ketika anak diminta menentukan persamaan garis lurus yang melalui titik A(3,0) dan B(4,2). Maka langkah langkah pengerjaan siswa sangat mudah ditebak yakni mereka akan menggunakan rumus .

Pembelajaran seperti ini akan membuat siswa sangat bosan dikelas dan tidak memiliki kemampuan untuk lebih mengembangkan pemahamannya akan konsep-konsep matematika yang mereka pelajari. Namun dengan pendekatan penemuan terbimbing menggunakan media autograph yang akan diterapkan ini, siswa dapat mencoba-coba terlebih dahulu grafik-grafik relasi fungsi yang ada, menemukan kemungkinan-kemungkinan yang ada dengan bimbingan dari guru. Melihat berbagai ciri-ciri yang muncul, mencatat dan melakukan diskusi. Sampai akhirnya siswa dapat menyimpulkan bagaimana membuat sketsa grafik persamaan garis lurus dan membuat persamaannya berdasarkan data yang diberikan.

Adapun contoh kegiatan siswa dan guru selama belajar persamaan garis lurus dengan penemuan terbimbing menggunakan media autograph adalah sebagai berikut:

  1. Kegiatan pendahuluan : Guru merumuskan masalah yang akan diberikan pada siswa, yakni membuat grafik persamaan garis lurus dan menentukan persamaan garis lurus. Menjelaskan bahwa untuk memahami persamaan garis lurus, terlebih dahulu pemahaman tentang fungsi sudah dikuasai
  2. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok dan membagikan LKS sebagai panduan yakni sebagai berikut:

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Reni dkk. (2001). Kreativitas. Jakarta : Grasindo

Amin, Moh. (1988). Buku Pedoman Laboratorium Dan Petunjuk Praktikum Pendidikan Ipa Umum (General Science) Untuk Lembaga Pendidikan, Jakarta : Depdikbud

Arends, I Richard. (2008). Learning to Teach. Seventh Edition. New York : McGraw Hill Companies

Asikin, M. (2008). Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika. Online. http:www.ocw.unnes.ac.id/ocw/matematika/pendidikan/matematika, diakses 10 Maret 2010

Dahar, W Ratna. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Djamarah, B Syaiful. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta Rineka Cipta

Grouws, D.A. (1984). Hand Book of Research on Mathematics. New York: Macmilian Company

Hamid, Abdul. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. ISBN

Hasanah, Aan. (2004). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik. Bandung:UPI

Kuhlthau, C Carol. (2006). Guided Inquiry Learning In The 21st Century, Westport, CT:Libraries Unlimited

Kurnia, Asep. (2004). Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa SMU Melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah dengan Metode Penemuan : Studi Eksperimen pada SMUN 15 Bandung dan SMU Kartika Chandra III-2 Bandung. Online. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1005106-143918/, diakses 10 maret 2010

PGSM, Tim Pelatih Proyek. Penelitian Tindakan KElas (Classroom Action Research). Jakarta : Depdikbud

Maryati, Yusi. (2007). Perbandingan Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Antara Siswa SMP yang Mendapat Pembelajaran Model Penemuan Terbimbing dan Model Treffinger : Strudi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 29 Bandung. Online. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0225108-114011/, diakses 10 maret 2010

Mins, Enden. (2006). Pengaruh Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Open-Ended Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa Sma Bandung. Laporan penelitian UPI Bandung : tidak dipublikasikan

Munandar, Utami. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta

Munir. (2008). Kurikulum Berbasis:Teknologi Informasi dan Komunikasi. Laporan penelitian UPI Bandung : tidak dipublikasikan

Nurkancana, Wayan dkk. (1986). Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional

Pehkonen, E. (1992). Using Problem-Field as a Method of Change : Mathematics Educators. 3 (1), 3-6

Ranty, Aditya. (2009). Pembelajaran Transformasi Geometri Dengan Pendekatan Konstruktivis Untuk Meningkatkan Penalaran Logis Siswa Kleas XII SMA BPI 2 Bandung. Online. http://matematika.upi.edu.index.php/, diakses 28 Oktober 2009

Rasyad, Aminuddin. (2003).Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Uhamka Press

Riedesel, Alan. (1967). Guiding Discovery in Elementary School Mathematics. New York: Meredith Publishing Company

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Sanjaya,Wina. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Kencana Prenada Media Group

Siskandar. (2004). Prosiding Seminar Nasional Matematika: Kurikulum 2004 dan Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah. Bandung: UPI

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta

Slavin, E Robert. (2009). Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta : Indeks

Soedjadi, R. (1999) Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Sudjana. (1992). Metode Statistika, Edisi ke-5. Bandung : Tarsito

Suherman, Erman. (1990) Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Tarsito

Sulipan. (2008). Penelitian Tindakan Kelas Classroom Action Research. Online. http://pdf-search-engine.com/penelitian-tindakan-kelas-pdf-html, diakses 10 Maret 2010

Sumarmo, Utari. (1987) Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi S3: UPI

Sumarmo,U. (2002). Pengukuran dan Evaluasi dalam Pendidikan. Makalah. Bandung : PPS UPI

Suparno, P. (2006). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Suryosubroto, B. (2002). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

Trianto, (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana

Walle, De Van. (2006). Elementry nd Middle School Mathematics. Sixt Edition. Jakarta:Erlangga

Untuk lebih jelas, silahkan klik di sini